Postingan

Menampilkan postingan dari 2025

Ruang Tengah

     Setelah nonton konser punk semalam dan tektok Sindoro minggu lalu, aku merasa semakin yakin bahwa aku memang berada di antara banyak kelompok. Entah menjadi salah satu bagian dari mereka, atau justru tidak sama sekali.      Sejujurnya, ketika aku berada di lingkungan teman-teman yang belajar desain dan seni, aku merasa bukan bagian dari mereka. Ada beberapa hal yang membuatku merasa jarak kami terlalu jauh. Mungkin salah satunya adalah soal keekspresifan dalam berkarya. Inilah alasan aku lebih memilih desain daripada seni. Karena seni penuh dengan ekspresi diri yang bebas dan liar, tanpa harus memikirkan orang lain. Sedangkan desain, ekspresi itu dibatasi oleh banyak hal, seperti industri, human-centered, cost, dan sebagainya.      Begitu pula ketika aku bersama teman-teman pencinta alam. Kebanyakan dari mereka memiliki kecintaan yang besar pada pendakian. Selalu punya target untuk mendaki gunung A, B, C, dan seterusnya. Sejujurnya aku...

Era Impulsif dan Instan

   Aku tuh agak bingung melihat era ini. Menurutku aneh. Percepatan dan perkembangan teknologi sudah menjadi tidak terkendali. Dan akan semakin tidak terkendali. Ya, benar kalau mungkin negara ini memang selalu “kaget” dengan segala sesuatu yang baru. Belum sempat ahli di satu teknologi, eh sudah muncul teknologi baru lagi. Begitu pula soal regulasi atau aturan untuk membatasi itu.    Apalagi soal pendidikan. Gak usah terlalu berharap, masih sangat jauh. Oh iya, ini bukan soal pendidikan yang harus “ikut-ikut” perkembangan zaman, tapi tentang kebijaksanaan dalam menyikapi percepatan dan perkembangan itu sendiri.    Misal, yang lagi ramai sekarang: kalau ada AI, apakah pendidikan kita harus langsung “ikut-ikut” belajar tentang AI? Kalau menurutku, semua harus ada tingkatannya dan tahapannya. Semuanya berproses. Bukannya gak boleh anak-anak SD belajar AI, tapi… apakah perlu? Ini masih tingkat dasar, loh. Banyak hal yang lebih penting yang harus mereka pelaj...

Bukan Ayam Geprek

Entah kenapa, pagi ini aku pengen banget makan ayam geprek. Sepulang “ketemu sapi di sawah” — alias kucing yang nyamar jadi sapi — aku mampir ke warung ayam geprek langganan. Tapi ternyata, tutup dong. Ya sudah, aku putuskan cari gudeg saja. Intinya pagi ini aku benar-benar tidak ingin memasak. Dari kejauhan, tempat gudeg itu terlihat ramai. Aku pun pindah ke warung lain, tapi ibu penjualnya malah pergi. "Lah gimana sih ibu ini?" batinku. Aku baru ingat, kalo di dekat apotek sana ada ayam geprek juga. Terakhir kali ke sana katanya nasinya habis, tapi kalo pagi mungkin masih banyak sih ya. Aku terus jalan ke tempat ayam geprek kedua. Ini benar-benar harapan terakhirku pagi ini. "Mas, ada nasinya gak ya?" "Maaf mbak, masih sejam lagi nasinya baru matang." Yaelah, ternyata nasinya belum matang. Sedih banget. Di seberang jalan, aku melihat warung kecil yang tak terlalu mencolok. Entah kenapa, aku ingin coba mampir. Di etalasenya berjejer berbagai lauk, dan dal...

Kita dan Waktu

Gambar
    Aku ingin cerita tentang film Sore: Istri dari Masa Depan . Tapi yang ingin aku ceritakan bukanlah tentang sinopsis atau ulasan filmnya, melainkan tentang perasaanku setelah menontonnya.     Sebetulnya aku sudah pernah menonton serialnya di YouTube, dan memang bagus. Bahkan versi film yang aku tonton pun, meskipun aku sudah tahu ceritanya dari webseries, tetap terasa kuat. Porsi bagusnya sama. Aku suka karakter Sore yang diperankan siapa pun, aku suka pengambilan gambarnya, dan aku suka Jonathan yang diperankan oleh Dion. Aku suka aktingnya, sangat ekspresif. Tapi yang versi film ini terasa berbeda.      Sepanjang menonton, aku sangat menikmati pemandangan yang disajikan. Dan aku bilang ke diriku sendiri, "suatu saat aku harus melihat aurora dan salju yang terhampar luas." Mataku berkaca-kaca melihat itu. Aku hanyut dan seperti masuk ke dalam dunia filmnya.      Ketika melihat Jonathan, aku tahu mata itu. Rasanya seperti hidup de...

Jogja

Gambar
     Hari ini entah kenapa Jogja terasa lebih lambat dari biasanya. Padahal, dibanding Surabaya, Jogja memang selalu punya irama yang lebih tenang. Tapi malam ini, suasananya berbeda, rasanya lebih lengang, lebih ringan, dan lebih mendamaikan. Terima kasih untuk kebetulan kecil ini. Aku jadi bisa benar-benar merasakan Jogja... tanpa distraksi.      Waktu pertama kali pindah ke sini untuk bekerja, aku lumayan kaget. Bukan karena apa, tapi karena aku gak pernah menyangka akan benar-benar tinggal di Jogja. Ada yang pernah bilang ke aku, "Jogja (atau tepatnya Sleman) adalah tempat yang tepat untuk menyembuhkan luka. Kalau stres tinggal main ke Merapi." Mungkin itu benar. Karena dulu, sekitar tahun 2018, aku juga pernah menjalani pengobatan batin di sini.      Teman dekatku juga pernah berkata bahwa Jogja akan jadi tempat belajar sabar. Dan mungkin memang begitu. Dinda yang dulu mudah meledak-ledak, mungkin bisa dibilang pemarah, tapi sekarang j...

Setengah 2025

Sudah lama rasanya saya tidak menulis dan akhirnya hari ini saya bisa menyempatkan diri untuk menuangkan isi kepala. Sangat penuh sampai saya tidak tahu harus memulai dari mana. Tahun 2025 ada banyak kejadian, entah yang menimpa saya maupun  siapapun yang hidup di dunia ini. Tapi tahun ini bisa dibilang sebagai tahun terberat kedua setelah tahun 2020 bagi manusia di era ini. Padahal belum selesai setengah jalan tapi ada aja yang terjadi. Pertama saya ingin berbicara mengenai perang dagang dan egoisme banyak negara yang menyebabkan krisis ekonomi. ( Disclaimer ya, saya orang awam soal perekonomian. Ini semua hanya asumsi pikiran saya yang ingin saya tuangkan dalam bentuk tulisan). Ya saya tahu, ini bukan kali pertama negara-negara itu berlomba menjadi nomor satu di dunia. Karena sebetulnya segala yang terjadi di dunia ini hanyalah siklus. Semua yang terjadi hari ini hanyalah pengulangan dari kejadian di masa lalu dalam bentuk yang sedikit berbeda. Perang dalam bentuk apapun tentun...

Evaluasi Cara Orang Tuaku Mendidik

Gambar
     Akhir-akhir ini aku sering bertanya-tanya mengenai parenting . Entah mungkin karena sudah saatnya aku memikirkan hal tersebut atau ini seperti pertanyaan yang terlintas begitu saja.      Dulu papaku pernah tanya kepadaku, "Menurutmu hal apa yang harus dievaluasi dari cara mendidik papa dan mamamu ini?" Jujur saja, saat itu aku hanya kepikiran satu hal, "Ada satu yang menurutku kurang. Menurutku dalam satu keluarga harusnya ada satu orang tua yang di rumah. Setidaknya sampai dia paham bahwa orang tuanya harus bekerja. Karena sebenernya aku gak mau anak itu dititipkan ke orang lain."      Sebagai seorang anak yang tinggal bersama neneknya ketika kecil aku selalu merasa orang tuaku workaholic (gila kerja). Tapi seiring berjalannya waktu ya aku mulai paham kalau orang tuaku ingin anaknya hidup dengan layak. Dan ya sebenernya juga tidak terlalu masalah. Tapi "masalah" itu muncul justru ketika adikku dititipkan ke orang lain. Kenapa masalah m...