Setengah 2025
Sudah lama rasanya saya tidak menulis dan akhirnya hari ini saya bisa menyempatkan diri untuk menuangkan isi kepala. Sangat penuh sampai saya tidak tahu harus memulai dari mana.
Tahun 2025 ada banyak kejadian, entah yang menimpa saya maupun siapapun yang hidup di dunia ini. Tapi tahun ini bisa dibilang sebagai tahun terberat kedua setelah tahun 2020 bagi manusia di era ini. Padahal belum selesai setengah jalan tapi ada aja yang terjadi.
Pertama saya ingin berbicara mengenai perang dagang dan egoisme banyak negara yang menyebabkan krisis ekonomi. (Disclaimer ya, saya orang awam soal perekonomian. Ini semua hanya asumsi pikiran saya yang ingin saya tuangkan dalam bentuk tulisan). Ya saya tahu, ini bukan kali pertama negara-negara itu berlomba menjadi nomor satu di dunia. Karena sebetulnya segala yang terjadi di dunia ini hanyalah siklus. Semua yang terjadi hari ini hanyalah pengulangan dari kejadian di masa lalu dalam bentuk yang sedikit berbeda. Perang dalam bentuk apapun tentunya bukan hal baik bagi siapapun. Tapi setelah mendengarkan berita, sepertinya perang sudah tidak dapat terhindarkan. Bahkan meskipun pernyataan Perdana Menteri Singapura banyak benarnya, negara lain juga tidak akan peduli. Pernyataannya terkesan naif tapi hal itu yang seharusnya diucapkan oleh pemimpin yang baik. Bukan perkataan blunder dan toxic positivity seperti yang dikatakan oleh para pemimpin di Indonesia:
"Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar... ndasmu,” Presiden Prabowo.
Ini dia katakan ketika ada banyak kritik mengenai formasi kabinet yang dia bentuk karena jumlahnya yang banyak yaitu kurang lebih 108 orang yang ditunjuk untuk membantunya. Banyaknya jumlah pembantunya ini jelas bertolak belakang dengan program efisiensinya. Efisiensi mengenai ATK oke, efisiensi mengenai pemberantasan para pekerja honorer... coba pikir lagi deh, sebaiknya gaji pejabatnya aja yang dikurangi.
"Kau yang gelap, bukan RI," Ketua Dewan Ekonomi Indonesia Luhut.
Luhut ini bilang ketika waktu itu ramai tagar Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu. Wkwk jelas aja hidupnya terang benderang. Hartanya aja 700 miliar sampai satu triliun-an rupiah.
"Bonus Demografi: Ini adalah giliran kita. Generasi muda Indonesia untuk mengambil peran," Wakil Presiden Gibran.
Perkataannya ini diucapkan pada video monolog-nya di youtube. Mungkin keliatannya baik ya, tapi ini masuk toxic positivity sih. Apalagi diucapkan oleh seseorang yang melanggar peraturan demi maju menjadi calon wakil presiden dan di tengah sulitnya mencari kerja serta badai PHK dimana-mana. Itu yang namanya bonus demografi?
"Ya Ndak Tahu Kok Tanya Saya (YNTKTS)," Jokowi aka Mulyono.
Bukan siapa-siapa sih, hanya mantan presiden yang ikut cawe-cawe di pemerintahan kali ini. Mungkin takut anaknya gak bisa kerja (Wakil Presiden Gibran).
"Sudah dimasak aja," Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi.
Ini dia ketika ditanya soal kepala babi sebagai wujud teror kepada jurnalis Tempo. Kabarnya dia mundur dari jabatannya tapi ternyata bohong. Alias gak jadi mundur. Yaudah, orang sejenis bagusnya kumpul jadi satu aja.
Kedua, badai PHK. Ini saya tuliskan setelah membaca berita di koran mengenai badai PHK di industri media, terutama industri pertelevisian. Sebenarnya saya sudah mendengar berita ini dari beberapa hari lalu. Tapi karena tadi pagi saya baca koran, hati saya jadi tergerak untuk menuliskan ini. Badai PHK sebetulnya sudah banyak terjadi mulai dari industri padat karya, para pekerja honorer di pemerintahan, dan industri media. Dulu industri penyiaran radio, kemudian media cetak, dan sekarang pertelevisian. Ya mungkin itu terlihat buruk dan aku setuju kalau ini termasuk kabar buruk. Apalagi cari kerja sulit, berdagang pun kita semua tetap butuh para pekerja yang membeli dagangan kita kan. Tapi di lain sisi, ini juga termasuk salah satu hal yang harus dilalui apalagi ini sudah memasuki era baru yaitu era digital. Tapi saya juga ingin menyoroti bagian ketidakbecusan pemerintah dalam menciptakan SDM yang mumpuni dan kompetitif di era ini.
Sistem dan kurikulum pendidikan yang berkali-kali ganti, bahkan sekarang bisa-bisanya pemerintah berencana kembali ke kurikulum dan KTSP 2006. Ya elah, kurikulum itu sudah sangat tidak relevan di jaman ini. Halo para pejabat di sana, tau gak sih akar masalah dari pendidikan di Indonesia itu apa? Korupsi, kualitas para pengajar terlebih lagi kepala sekolahnya, kesenjangan akses terhadap teknologi, dan metode pembelajaran yang gitu-gitu aja. Yaudah, semangat kepada para orang tua yang ingin memasukkan anaknya di sekolah negeri, siap-siap aja di masa depan anaknya bakal sulit cari kerja. Atau gampangnya siapkan dana dah buat nyogok ordal.
Sudahlah SDM-nya gak mumpuni, pemerintahnya pun banyak yang korupsi. Haduh, belum apa-apa aja, di tahun 2025 ini ada banyak berita mengenai korupsi Pertamina, korupsi minyak goreng, korupsi ekspor impor, dan korupsi-korupsi lainnya yang saya yakin ada banyak yang belum terungkap baik yang kecil maupun besar.
Ketiga yaitu mengenai yang paling ramai akhir-akhir ini yaitu mengenai grup menyeleweng atau lebih tepatnya grup tempat orang-orang menyimpang berkumpul yaitu Grup Fantasi Sedarah. Sejujurnya saya gak sanggup untuk membahas ini. Tapi bayangkan berapa banyak orang di negara ini yang sudah dilecehkan oleh keluarganya sendiri. Saya berharap ada pendidikan seks sesuai umur dan hukuman yang setimpal kepada para pelaku. Jangan sampai para polisi cuma bisanya menangkap pelaku meme Jokowi love Prabowo (yang menurut saya gak penting juga untuk ditangkap). Awas aja kalau bilang, "ikhlaskan aja mbak".
Keempat, mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia. Kata BPS penduduk miskin di Indonesia berjumlah 8,57% sedangkan menurut Bank Dunia ada 60,3%. Perbedaan data yang sangat signifikan ini terjadi karena adanya perbedaan tolok ukur dan cara penghitungan. (Tapi cara penghitungan seharusnya tidak terlalu beda selisihnya, mungkin ya tolok ukur itu yang paling membuat perbedaan besar). BPS bilang kalau pengeluaran di atas Rp 595.242/orang/bulan, masuknya tidak miskin. Sedangkan menurut Bank Dunia pengeluaran di atas $ 6,85/orang/hari baru dapat dikatakan tidak miskin. Kenapa Bank Dunia mengategorikan Indonesia ke dalam negara berpendapatan menengah ke atas? Ya karena pendapatan rata-ratanya terhitung lumayan tinggi. Gak terima? Yaudah namanya juga kesenjangan ekonomi. Yang di atas pendapatannya sangat tinggi, eh yang di bawah sangat rendah bahkan utangnya banyak. Sudahlah pendapatannya sedikit, utangnya banyak, anaknya banyak pula. Dan pemerintah tinggal memainkan peran sebagai malaikat untuk memberi mereka bantuan. Masyarakat kelas menengah? Jepit saja sampai habis.
Ini yang dari dulu ingin saya kasih tau ke semua orang yang membaca tulisan ini. Saya ingin memberi gambaran dari sudut pandang pesimis mengenai Indonesia. Di masa yang akan datang, Indonesia akan mengalami kesenjangan sosial yang sangat tinggi. Mungkin kelas menengah hampir tidak ada. Di masa itu orang kaya menjadi sangat kaya dan yang miskin hampir tidak punya apa-apa. Bayangkan ya, di jaman ini mungkin masih bisa bertahan karena ada sisa-sisa warisan, SDA melimpah, dan perilaku saling berbagi. Di masa yang akan datang, mau makan apa? Gak bisa bekerja (kualitas tidak mumpuni), gak ada warisan, gak bisa menanam, sudah tidak percaya agama, dan akhirnya? Ya melakukan kriminal. Bayangkan, sekarang ada banyak orang Indonesia yang miskin tetap beranak pinak dan ingin selamanya miskin agar mendapatkan bantuan dan tidak perlu membayar pajak? Belum lagi agar terhindar dari tanggung jawab, banyak anak-anak miskin dinikahkan dini dan belum cukup umur. Alasan yang dibawa klasik "agama dan menghindari zina". Hadeh. Bagaimana masyarakat kelas menengah? Ya mungkin karena itulah mereka menjadi enggan menikah dan kalaupun menikah malah memilih childfree. Kalau kaya mah gampang, tinggalkan aja warisan dan kasih pendidikan yang sangat layak agar bisa survive di masa mendatang (jangan pakai kurikulum pemerintah). Setidaknya dia masih bisa menghidupi beberapa keturunan dan mungkin malah semakin kaya. Tapi mngkin ini sudah saatnya masyarakat kelas menengah punah 🤷♀️
- Din (Sleman, 18 Mei 2025. 12:12 WIB)
Komentar
Posting Komentar