Evaluasi Cara Orang Tuaku Mendidik
Akhir-akhir ini aku sering bertanya-tanya mengenai parenting. Entah mungkin karena sudah saatnya aku memikirkan hal tersebut atau ini seperti pertanyaan yang terlintas begitu saja.
Dulu papaku pernah tanya kepadaku, "Menurutmu hal apa yang harus dievaluasi dari cara mendidik papa dan mamamu ini?" Jujur saja, saat itu aku hanya kepikiran satu hal, "Ada satu yang menurutku kurang. Menurutku dalam satu keluarga harusnya ada satu orang tua yang di rumah. Setidaknya sampai dia paham bahwa orang tuanya harus bekerja. Karena sebenernya aku gak mau anak itu dititipkan ke orang lain."
Sebagai seorang anak yang tinggal bersama neneknya ketika kecil aku selalu merasa orang tuaku workaholic (gila kerja). Tapi seiring berjalannya waktu ya aku mulai paham kalau orang tuaku ingin anaknya hidup dengan layak. Dan ya sebenernya juga tidak terlalu masalah. Tapi "masalah" itu muncul justru ketika adikku dititipkan ke orang lain. Kenapa masalah mungkin agaknya aku kurang suka ketika adikku dititipkan ke orang lain. Dan agak merasa bersalah juga.
"Tapi nanti ketika kamu menjadi orang tua, kamu akan mengerti bahwa tidak ada parenting yang sempurna," balas papaku. Jujur saja aku marah ketika papaku malah membalas seperti itu. Meskipun aku tau itu benar, tapi aku kesel aja. Tadi katanya mau evaluasi...
Entah kenapa di tanggal ini 23 Februari 2025, aku sudah tidak bisa membendung keinginanku untuk menuliskan tentang ini. Sebelumnya aku sudah pernah menuliskan tentang Parenting ala Pak Darif, seorang role model dalam hidupku. Kali ini aku ingin introspeksi tentang diriku. Pertanyaan mengenai, "apakah orang tuaku termasuk orang tua yang sukses dalam mendidik anaknya?" Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu aku harus melihat diriku sendiri. Jadi, apakah itu berhasil?
Aku tidak tahu apakah tujuan orang tuaku memiliki anak dan ingin seperti apa anak itu dibentuk. Aku yakin setiap anak adalah produk dari orang tuanya. Seperti dalam tulisanku sebelumya Paradoks: Trauma, yang pasti trauma orang tua akan membentuk kepribadian anak tersebut. Setelah dewasa ini aku justru mulai memahami bahwa orang tuaku juga memiliki trauma yang membentuk kepribadianku dan kepribadian adikku. Bahkan pandanganku tentang dunia ya mungkin juga dipengaruhi bagaimana orang tuaku mendidikku. Sekarang coba aku liat, seperti apa aku ini.
Dinda adalah seorang manusia yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Mungkin di sekolah aku terlihat seperti anak yang malas ya, mencatat pelajaran pun satu-satunya catatanku yang lumayan lengkap cuma Matematika. Tapi di balik itu semua aku suka membaca kok. Sejak kecil aku suka baca koran, majalah rumah, dan buku-buku di kamarnya Pak Darif. Aku tau kalau mamaku suka membaca majalah masak, di rumah ada kliping mamaku tentang majalah memasak (sudah seperti kitab, gede, tebal, dan ada 2 jilid). Kalau papaku, aku baru tau ketika sudah besar. Di rumah itu ada banyak buku tentang agama yang dibahas secara sains, buku tafsir, dan buku-buku yang lumayan mengarah ke ranah filsafat. Karena aku tinggal di rumah Pak Darif dan dulu tanteku juga tinggal serumah, jadinya aku rajin baca majalah yang tanteku beli. Tanteku biasanya beli majalah rumah dan majalah gosip. Tapi aku kurang ngeh tentang majalah gosip, jadinya aku suka baca majalah rumah. Ketika Pak Darif gak ada, tanteku juga yang biasanya langganan koran Jawa Pos. Dulu aku paling suka kolom karikatur dan berita-berita yang sebenernya aku sendiri gak terlalu ngerti. Makanya kalau teman-temanku tanya kenapa aku kayak bapak-bapak yang sukanya nonton berita, fyi itu udah kebiasaan sejak kecil yang suka baca koran. Dulu aku juga gak suka kalau papaku nonton berita, tapi aku ingat ketika SD aku pernah minta langganan koran dan spesifik harus Jawa Pos wkwk karena aku suka layout-nya. Bu Darif juga dulu suka ngajak aku bersih-bersih kolam ikan, kadang aku juga diajari membuat sesuatu. Dulu bahkan aku suka mainan mesin jahit punya tanteku yang lain. Intinya ada banyak faktor kenapa aku menjadi haus akan ilmu pengetahuan. Bisa jadi karena genetik, cara orang tuaku mendidik, dan faktor lingkungan keluarga.
Kata teman-temanku aku ini termasuk anak yang ndablek dan keras kepala. Bahkan ya, orang tuaku aja sepertinya sudah capek nasihatin aku. Pernah suatu ketika aku nanya ke mamaku, "Kenapa sih aku kok gak pernah dilarang-larang kayak anak lainnya?" Jawaban dari mamaku, "Memangnya kamu mau dilarang? Wong kamu kalo dikasih tau mana pernah dengerin. Jadi yaudah biarin aja, biar tau sendiri." Jujur saja, dulu aku pernah punya keinginan orang tuaku agak nyetir hidupku. Dulu aku pernah iri melihat teman-temanku yang orang tuanya keukeuh anaknya begini begitu. Dan waktu nganggur juga aku pengen orang tuaku nyariin kerja buat aku. Anaknya presiden aja dicariin kerja sama bapaknya. Hadeh. Tapi aku ingat bahwa aku juga kapok pernah nurut sama papaku. Akhirnya aku malah menyalahkan papaku terus waktu itu. Kalau seperti sekarang kan aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Setidaknya itu memang yang aku mau dan itu terjadi karena aku. Untungnya juga aku punya sifat yang jarang menyalahkan diri sendiri, jadinya sifat ndablek ini juga tidak terlalu masalah bagiku. Oh iya, orang tuaku juga tipikal orang tua yang kadang malas menjelaskan alasan kenapa tidak boleh, ya makanya kadang aku gak bisa menerima itu.
Apalagi ya, pemarah dan pembangkang? Ini sepertinya karena aku efek anak pertama dan prosesku aja karena kurang bisa mengontrol emosi. Nanti kalau ada lagi aku tuliskan deh ya.
Nah, sekarang kembali ke pertanyaan awal. Apakah orang tuaku sukses mendidik anaknya? Apakah sudah benar cara mendidiknya? Dulu aku pernah menyalahkan mereka. Tapi sekarang kalau aku punya anak yang sifatnya sama sepertiku, sepertinya aku juga akan melakukan hal yang sama. Jadi benar/salah dan sukses/tidaknya, relatif ya. Tapi aku akan membuat tolok ukurku sendiri. Sukses dan benar karena aku tau sifatku seperti apa dan sepertinya itu cara yang baik meskipun bukan yang terbaik. Gak sempurna, tapi masih good kok. Melebihi ambang batas. Sukses karena aku merasa bersyukur menjadi aku. Meskipun hidup di era ini gak mudah dan serba salah, tapi setidaknya aku bisa merasakan "hidup" itu. Jadi untuk menjawab pertanyaan seseorang tentang bagaimana parenting yang baik agar tidak menuhankan uang. Mungkin cara satu-satunya adalah membuat anakmu merasakan "hidup" itu.
Dan meskipun aku belum pernah menjadi orang tua, tapi sebelum ke arah sana, aku ingin tau sudut pandangku sendiri sebagai seorang anak.
- Sleman, 23/02/2025. 09:18 WIB.
![]() |
| Chatku dengan adikku. Sebenernya gak cuma aku kok yang ndablek, tapi adikku juga |
*nb: oh iya makanya aku ngerasa feel dari lagunya .feast - Nina, ternyata soal pesan dari orang tuanya toh.


Komentar
Posting Komentar