My POV: The Third Roommate
Mungkin sebelum mempublikasikan ini aku perlu izin ke temanku karena kisah ini cukup privat dan menyakitkan. Tapi aku ingin membahasnya karena mungkin ini menjadi salah satu tulisan yang pernah aku buat yang sarat akan pembelajaran hidup, tapi tentu tidak akan aku ceritakan semua. Oh iya, ini cerita murni dari sudut pandangku ya...
***
Aku ingat sekali pertama kali mengenal temanku ini ketika aku meminjam mesin Jigsaw untuk suatu tugas mata kuliah. Sebenarnya dia adalah kakak tingkatku tapi kami menempuh mata kuliah yang sama dan berangkat kuliah bersama (mungkin lebih tepatnya dia nebeng ya karena motornya rusak wkwk). Singkat cerita karena adanya kesamaan keadaan, dia butuh pindah ke kos yang lebih murah dan aku butuh teman sekamar kos akhirnya kami memutuskan untuk mencari kos bersama. Itulah alasan awalnya kenapa kami manjadi roommates padahal bukan teman seangkatan, bukan teman dekat, dan bukan teman dari daerah yang sama. Mungkin ini juga bisa menjadi jawaban untuk teman-temanku yang pernah bertanya kenapa dia bisa jadi teman sekamarku.
Sedari awal teman-temanku tau bahwa aku sekamar kos dengannya, langsung muncul banyak pertanyaan dan kekhawatiran dari mereka. "Kenapa kamu sekamar dengannya?", "Kenapa gak nyari kos sendiri aja?", "Kenapa keluar dari asrama?", "Ati-ati loh, Din. Ntar kuliahmu ikutan gak bener.", dan segala macam. Kalau ditanya kenapa, ya alasan awalnya itu sih karena Mamaku gak pernah ngebolehin aku ngekos sendirian (harus ada teman sekamar), toh dari awal aku punya teman sekamar juga selalu cocok kok. Ya aku tau kekhawatiran teman-temanku itu, tapi aku selalu yakin dengan diriku sendiri bahwa aku tidak akan terpengaruh hal-hal yang merugikanku dan malah menurutku pengaruhku justru lebih kuat daripada orang lain (hehe).
Seperti yang pernah aku katakan, aku percaya dimanapun Allah menempatkan aku, itu bukanlah suatu kebetulan tapi aku yakin Allah menyuruhku untuk belajar dan mungkin aku juga disuruh untuk melakukan sesuatu yang baik di sana. Dan ini pun terjadi...
Sewaktu masa berat itu dimulai, aku dengan bangga merasa sudah membuat semangat kami up lagi. Seberat apapun masih bisa kami lalui. Tapi ketika minggu ke-3 perkuliahan sudah mulai terasa berat dan dia pun tiba-tiba tidak pernah masuk kuliah lagi. Saat itu aku cukup heran melihatnya, "perasaan 2 minggu kemarin dia sangat bersemangat, tapi kok tiba-tiba langsung down begitu? rasanya terlalu drastis". Dia pernah bilang kepadaku bahwa dia kemungkinan punya bipolar, tapi rasanya terlalu aneh jika itu bipolar, seperti punya siklus tertentu. Aku mencoba mencari jawaban yang paling cocok, tapi belum ada. Aku pikir mungkin karena saking beratnya saat-saat itu dan dia masih bergelut dengan masalah keluarganya. Tapi kok berganti secepat itu.
Aku bisa mengerti jalan pikirannya, mengapa dia lebih memilih berteman dengan orang-orang di luar jurusannya daripada teman-teman sejurusan. Karena aku sendiri begitu, kami tidak bisa hanya berteman dengan satu circle, bahkan harus ada banyak circle pertemanan. Apalagi dia ada masalah juga dengan teman-teman sejurusannya. Cuma, saat itu aku masih heran kenapa dia lebih banyak meluangkan waktunya di sosial media. Jika kebanyakan orang saat itu balance antara kehidupan nyata dan kehidupan maya, tapi tidak dengan dia, hidupnya hampir 90% untuk dunia maya. Aku sering memarahinya karena hampir 24 jam dia telpon-telponan dengan teman mayanya. Waktu itu aku cukup geregetan melihatnya karena selalu menghidari masalah, makanya masalahnya selalu terulang. Entah sampai kapan dia stuck di masalah itu.
"Mbak, saranku kamu ke psikiater deh. Kayaknya ini masalah yang gak bisa diatasi psikolog deh..."
Mungkin kata-kataku terkesan kasar ya, tapi aku tidak ada maksud sarkas ataupun hal buruk lainnya tapi murni karena aku geregetan, dia tidak kunjung menemukan solusi untuk dirinya sendiri.
"... Aku masih bisa mengatasi diriku sendiri mbak, nanti aku juga bakal nemu bagaimana aku mengatasi diriku sendiri, tapi kalau kamu enggak mbak, masalahmu terlalu berat untuk ditanggung dirimu sendiri. Setidaknya kamu harus tau dulu cara mengatasi dirimu sendiri."
Aku ingat juga pernah di suatu ketika Surabaya hujan sangat deras dan dia kecelakaan di daerah arah Surabaya Utara, itu cukup jauh dari kos kami. Saat itu aku bingung dan akhirnya memutuskan untuk naik ojek online ke sana. Sebenarnya yang paling aku bingungkan, kenapa dia sering sekali kecelakaan seperti itu. Masalahnya bukan karena kesalahan orang lain, tapi benar-benar kecelakaan tunggal. Di situ pun aku menemaninya sampai ayahnya datang. Dari situ aku bisa tau bahwa dia dekat dengan ayahnya.
Pernah juga suatu ketika ibunya datang di depan kamar kos kami. Aneh, benar-benar aneh. Temanku itu juga kaget kenapa ibunya bisa datang tanpa kabar apa-apa, tau-tau sudah di depan kamar saja. Di kamar kos itu dia bertengkar dengan ibunya. Dari situ pun aku bisa tau bahwa ibunya juga ada apa-apa.
Singkat cerita, di tahun 2020 tiba-tiba pandemi sudah memasuki kota Surabaya dan perkuliahan pun dilakukan secara daring. Karena tidak memungkinkan jika aku terus-terusan mengisolasi diri di kamar kos, akhirnya aku memutuskan untuk pulang kampung.
"Mbak, kamu pulang loh ya, jangan diam di kosan!"
"Iya, Din."
Aku lupa kalau dia pembohong, sampai suatu hari ibunya meneleponku dan mencarinya. "Loh, dia belum pulang? Aku pikir dia sudah pulang. Sudah Te, langsung jemput saja." Saat itu dalam pikiranku cuma satu, jangan sampai anak ini bunuh diri. Masalahnya di kos-kosan waktu itu sangat sepi, jadi siapa yang akan tau kalau dia kenapa-kenapa. Bahkan dia saja pernah pingsan di kosannya yang lama tanpa diketahui orang lain. Sebenarnya tidak sebaik itu juga sih, aku menjegalnya agar dia bisa menyelesaikan masalahnya langsung dari akarnya, yaitu keluarganya.
Tapi perlu diingat, sebetulnya itu juga bukan hal yang benar untuk aku lakukan. Karena terkesan seperti menjebak orang untuk masuk kandang macan tanpa persiapan apapun. Tapi aku berusaha memantaunya dari sosial media. Aku berusaha untuk terus berkomunikasi dengannya, tapi dia sendiri sangat slow respon. Sampai suatu ketika chat-nya masuk..
"Din, aku sudah mengikuti saranmu untuk pergi ke psikiater. Beberapa hari lalu, aku benar-benar mau bunuh diri. Tapi tiba-tiba saudaraku yang dulu paling dekat sama aku tiba-tiba nelpon dan terus aku langsung nangis."
Kabar itu terdengar seperti kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baiknya berarti dia sudah bangkit, kabar buruknya yaitu sepertinya keputusanku untuk menjegalnya di kandang macan adalah hal yang salah karena keadaannya semakin memburuk.
Dia pun bercerita bahwa dia menderita ADHD, benar saja kalau psikolog tidak akan mampu menangani masalah itu dan benar saja kalau dia seperti seorang bipolar. Tapi perubahan mood-nya memiliki siklus tertentu. Dan dia pun bercerita bagaimana dia bisa mengatasi dirinya. Bahkan dia bercerita bagaimana dirinya survive di tengah kondisi keluarga yang sebenarnya tidak baik-baik saja, bahkan ada kemungkinan semua anggota keluarganya juga punya masalah mental yang saling merusak satu sama lain. Tapi terlepas dari itu semua aku bangga dia sudah mencapai dirinya sendiri. Kabarnya dia menjadi salah satu content writer di Radar Lawu. Kerenn...
***
Dari pertemuanku dengan my roommate itu, aku belajar bahwa ini bukan tentang kita yang tidak cocok dengan dunia ini. Tapi kita cuma perlu menemukan cara hidup yang cocok untuk kita. Nah, dari situ aku juga bisa memandang bahwa suatu kekurangan bukanlah kekurangan tapi kelebihan yang belum ditemukan cara yang cocok agar bisa diterima cara kerja dunia ini. Misal apa ya, dulu aku pernah berpikiran bahwa diriku yang mudah bosan adalah suatu kekurangan, menjadi generalis juga kekurangan, selalu skeptis juga kekurangan, apalagi ya banyak deh. Tapi coba dipikir dengan sudut pandang lain: Bosenan? Ya gampang, punya aja banyak hobi dan kamu akan bisa banyak hal. Generalis tapi susah ahli? Ya gampang, pilih salah satu aja dari semua hal yang kamu bisa untuk diasah agar terlihat seperti spesialis tapi ini jauh lebih baik daripada spesialis. Selalu skeptis? It's okay, itu artinya kamu punya critical thingking.
Apa lagi ya yang bisa aku pelajari... hmmm, oh iya trauma orang tua akan selalu menurun ke anaknya. Terutama orang tua-orang tua yang belum bisa mengatasi dirinya sendiri. Dan parahnya akan menurunkan sesutau yang lebih buruk daripada dirinya. So, carilah cara mengatasi dirimu sendiri agar tidak mengganggu orang lain ya...
*Nb: tulisan ini aku tuliskan sepadat mungkin dan tentunya ada sangat banyak hal yang tidak aku ceritakan di sini. Biar dia sendiri yang menuliskannya, wkwkwk.
-Din. Sleman, 24/03/2024. 11:02 WIB.
Wkkkk. Satu hal lagi pelajarannya, mau sebaik apapun kamu. Mau sebagus apapun kamu sebagai tanaman. Tapi kalau pencahayaan, unsur hara,pupuk, air dll serta cuaca yang buruk dan hama yang menggerogoti banyak. Ya kamu gak akan tumbuh jadi tanaman yang baik. Kalau lingkunganmu baik, kamu akan tumbuh dengan baik. Kalau memang si tanaman seburuk itu, gak mungkin kan 4,0 2x, jadi ketum, dan masih jadi penulis juga. Intinya, dengan lembaran baru ini, aku banyak merangkul mahasiswa yang mana aku gak pengen mereka merasakan apa yang pernah aku rasakan dulu. Dan setelah belajar banyak tentang pendidikan, ternyata banyak ya Dosen yang keluar dari kode etik nya sebagai seorang pendidik. Intinya pergilah ke tempat dimana kamu lebih dihargai.
BalasHapusBener polll ðŸ˜ðŸ˜ miris banget jika seorang pendidik malah ngerusak mental
Hapus