Tebing Tepi Laut
Semua berawal dari seorang pemuda yang menghampiri kami di saat hari sudah gelap. Dia hanya diam dan menatap lautan di depannya. Aku tidak bisa melihat wajahnya, terlalu gelap. Kemudian dia membungkuk dan mengambil sesuatu di bawahnya. Dia melemparkannya pada lautan dan bersumpah serapah, "Anjing lo! Bangsat! Tai!". Lautan membalasnya dengan ombak yang berdebur. Lalu dia pergi.
Keesokan harinya, seorang wanita muda datang menghampiri kami. Tak seperti pemuda kemarin, dia hanya duduk, menekuk lututnya, dan membenamkan wajahnya pada kedua lututnya itu. Sudah sekitar setengah jam wanita itu duduk dengan posisi seperti itu. Aku melihat langit mulai mendung dan air hujan menetes sedikit demi sedikit. Wanita itu mulai mendongakkan kepalanya dan menatap langit dengan mata merahnya. Dan sembab lebih tepatnya. Air hujan menetes di pipinya. Dia pun berdiri dan pergi.
Keesokan harinya, di sore hari, seorang wanita yang lain datang menghampiri kami juga. Sambil membawa kendi di tangannya, tiba-tiba dia duduk bersila dan bercerita banyak hal yang tidak aku mengerti. Dia bercerita dengan senyum di wajahnya dan menangis. Rupanya itu bukan senyum bahagia, tapi haru. Dia mengeluarkan abu dari kendi yang dibawanya. Angin langsung menyambut dan membantunya menaburkan abu itu ke lautan. Wanita itu berdiri dan tersenyum karena melihat matahari bercahaya dengan indahnya. Tanda yang indah untuk memintanya mengakhiri hari ini dengan perasaan positif. Itu senyuman lega hati.
Setiap hari, seperti saling bergantian, manusia-manusia itu datang menghampiri kami. Terkadang manusia yang sama, kadang juga orang baru. Sedih, marah, senang, haru, lega, kecewa, dan segala emosi manusia rasanya sudah aku lihat. Laut, langit, angin, dan matahari selalu punya cara untuk menghibur mereka. Sedangkan aku hanya bisa mendoakan, semoga besok akan lebih baik dari hari ini.
-Din, 18.41 WIB
Komentar
Posting Komentar