My POV: Sally Punker
Di hari raya Idul Fitri kali ini, aku ingin menceritakan tentang temanku kepada kalian semua. Karena kejadiannya di bulan Ramadhan dan mumpung aku lagi di Jember juga. Ini akan menjadi POV keduaku tentang teman-temanku yang sering disalahpahami oleh orang lain. Ini tentang dua gadis kembar, teman masa kecilku.
Mungkin aku sudah sering cerita kepada kalian bahwa aku tumbuh di kampung kota. Tempat itu sering aku sebut sebagai kampung kota karena tempatnya saling berdempetan dan warganya solid (tidak individualis). Sewaktu kecil, teman-temanku juga kebanyakan anak kampung situ, gambarannya seperti warga dalam series Get Married atau Imperfect. Waktu itu aku juga ikut mengaji (TPA) di masjid sekitar kampungku dan di sanalah pertama kalinya aku mengenal si kembar.
Si kembar yang aku ingat adalah anak-anak baik. Sejak kecil mereka tinggal bersama nenek dan budhenya. Ayahnya kerja di Kalimantan dan ibunya sudah lama meninggal. Sewaktu tinggal bersama neneknya, mereka sering kali disuruh untuk berbelanja untuk keperluan dapur dan dagangan sang nenek sebelum mereka berangkat ke sekolah. Menurutku mereka keren sekali, membantu orang tua di pagi hari bahkan untuk kami yang bangun tidur aja masih sering kesiangan. Terlebih lagi waktu itu masih SD.
Mereka yang satu tahun di atasku juga sering mengajariku pelajaran Matematika. Aku ingat sekali, waktu itu aku ikut lomba Matematika tapi tidak ada bimbingan dari sekolah karena aku ikut sebagai individu. Akhirnya aku belajar dari soal-soal yang masku pernah kerjakan dan diajari oleh mereka. Untuk ukuran anak kampung situ, mereka termasuk anak yang cerdas. Sungguh sayang jika semuanya berlalu begitu saja.
Singkat cerita, aku mendapatkan kabar dari si kembar bahwa mereka akan pindah ke Kalimantan bersama ayahnya. Namun, mereka khawatir akan membebani ayahnya karena untuk pergi ke Kalimantan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kalau tidak salah, saat itu aku masih kelas 2 SMP dan mereka kelas 3 SMP. Mereka meminta bantuanku dan teman-temanku lainnya untuk mencari barang-barang rongsok. Entah itu aqua gelas, botol, kaleng, kardus, dan segala macam sampah yang masih bisa dijual. Kami yang sejak kecil terbiasa jalan kaki, jadi cukup enjoy aja mencari rongsok seperti itu sampai ke mana-mana. Sepertinya saat itu juga bulan Ramadhan. Karena kami baru akan berkumpul kembali biasanya ketika bulan Ramadhan tiba (karena kami bersekolah di tempat yang berbeda dan kami sudah berhenti mengaji di TPA).
Di tahun berikutnya, ternyata mereka tidak jadi ke Kalimantan, entah karena apa tapi yang pasti bagi mereka ayahnya telah ingkar janji. Setelah hampir setahun tidak ada kabar selain kabar itu, kami bertemu lagi di masjid tempat biasa kami mengaji dan lagi-lagi karena ini bulan Ramadhan. Tentulah kami bertemu di masjid ini lagi.
"Eh Din, liat ini!"
Mereka menunjukkan penampilan baru mereka. Sebenernya aku sendiri tidak masalah dengan penampilannya yang seperti itu, hanya saja ini masjid ya, jadi agak kurang sopan mereka mengenakan rok mini dan baju kemben di masjid. Waktu itu aku juga berusaha menegur mereka, tapi katanya itu lagu tren di sekolahnya (SMA). Karena aku mengenal mereka sebagai anak yang sopan, rasanya agak aneh ketika mereka memiliki penampilan yang agak nyeleneh seperti ini. Tapi ya sudahlah.
"Jadi sekarang kalian punya geng baru di sekolah?"
"Iya, kami ikut punk juga. Ternyata ada perjanjian darah dan ludah gitu."
"Hah? Gimana itu? Iuh... "
"Ya ntar kalau darah, disayat gitu terus dicampur sama ludah. Campur air juga, terus minum deh. Ya anggap aja seperti ikatan persaudaraan."
Jujur, ketika pertama kali dengar cerita dari mereka, aku agak jijik. Tapi ya bagaimana, teman yang selalu ada waktu untuk mereka kan ya teman-teman di sekolahnya itu. Jadi aku tidak banyak berkomentar.
Setahun setelah kejanggalan itu, dan persis di bulan Ramadhan, aku mendengar kabar bahwa salah satu dari mereka baru saja keguguran. Tentu saja aku dan teman-temanku kaget mendengarnya dan akhirnya kami memutuskan untuk menjenguknya di rumahnya setelah sholat tarawih.
Di rumahnya itu hanya terlihat dia seorang, satunya lagi katanya kabur dari rumah. Dia hanya mengantar kembarannya ini pulang setelah itu dia pergi lagi sambil membawa kunci rumah.
"Aku gak ngerti lagi Din kenapa aku bisa ikutan punk kayak gitu. Padahal hidupnya gak enak blas. Awalnya juga aku pikir mereka solid, tapi ya ini jadinya.. "
Dia menceritakanku tentang kehidupannya selama menjadi anak punk. Kisahnya yang selama ini terlewatkan, rasanya sungguh miris ketika pertama kali aku mendengarnya dan bahkan sampai sekarang masih terdengar miris ketika aku menceritakannya kembali.
"Aku sama teman-teman keliling gitu ngamen, seringnya tidur di Alun-alun, kadang ya di rumah kosong atau depan toko. Kalau makan kami ngasak di tempat sampah kalo beruntung ya ikut makan di hajatan orang. Kehidupannya bebas gitu, gak ada aturan. Makanya aku sampe kayak gini... "
Dia menangis, matanya berkaca-kaca lagi ketika mengingat tentang anaknya yang baru saja meninggal.
"Padahal ya Din, udah keliatan rambutnya, tapi ya gimana, aku belum siap jadi ibu... "
...
Karena kejadian itu, aku mencari tau tentang punk, apalagi saat itu punk menjadi tren di Jember bagian kota. Kalian bisa dengan mudah mencari anak punk. Di Alun-alun, di perempatan lampu merah, di hajatan, dan segala macam. Dari semua yang aku pelajari, agaknya temanku itu salah paham tentang punk. Tapi ya, semuanya sudah terjadi.
Setelah kejadian itu, kembarannya membawanya kabur lagi. Tapi tidak lama, akhirnya mereka ditemukan dan langsung dibawa oleh ayahnya ke Kalimantan. Mereka menikah di sana (entah dengan siapa) tapi masing-masing dari mereka sudah punya keluarga kecil di sana. Terakhir, kabar yang aku dengar salah satu dari mereka meninggal. Makanya, aku minta agar mendoakan temanku itu. Al-Fatihah...
***
Setiap kali aku mengingat kisah temanku ini, aku selalu ingat lagu Last Child - Sally Punker
Sally gadis lugu periangPake belts pack di pinggangTerobsesi ingin jadi anak punk
-Din (Jember, 11/04/24. 6:30 WIB)
Komentar
Posting Komentar