Asumsi Tentang Pernikahan
Kali ini aku ingin menuliskan sesuatu yang cukup serius dan menjadi keresahan untuk manusia-manusia seumuranku, yaitu tentang pernikahan. Sejujurnya aku cukup menahan diri untuk menuliskan ini. Tapi lebih baik aku tuangkan dalam bentuk tulisan daripada sekadar terngiang di otak.
***
Sebelum masuk ke pembahasan, aku mencoba mengorek masa kecilku: apa yang ada di pikiran masa kecilku tentanng pernikahan. Tapi tidak ada. Hehehe, aku baru memikirkan soal pernikahan ketika kuliah. Jadi, proses berpikir ini sebenarnya tidak terlalu lama.
Waktu itu ketika aku mulai memikirkan tentang pernikahan, tepatnya ketika aku sudah memasuki usia dewasa, aku berpikir bahwa pernikahan adalah salah satu cara wanita dewasa ingin keluar dari masalah hidupnya dan membawa harapan baru di kehidupan pernikahannya. Berbeda dengan bagian si wanita dewasa, pria dewasa aku asumsikan bahwa pernikahannya hanyalah bertujuan untuk melegalkan hasrat seks-nya. Menurutmu kenapa aku sempat berasumsi seperti itu? Yuk kita bahas satu-satu.
Sebenarnya aku tumbuh dalam keluarga yang bisa dibilang cukup harmonis ya walaupun dulu orang tuaku pernah bertengkar hebat karena hal sepele tapi selalu aku ingat sampai sekarang. Tapi bukan itu masalahnya. Ketika kuliah, aku di hadapkan dengan kondisi yang sangat berbeda. Bukan karena tempatnya, bukan karena kulturnya, bukan karena orang-orangnya, tapi karena timing-nya. Di masa perkuliahan itu aku diperlihatkan banyak kondisi pernikahan yang tidak harmonis. Banyak dari teman-temanku itu sampai butuh ke psikolog untuk menyembuhkan lukanya. Sekali lagi, aku hanya bisa menemani sebisaku. Entah itu karena perselingkuhan, poligami, kekerasan, merasa tidak cocok, dan lain sebagainya. Tapi garis besarnya adalah pengkhianatan. Dalam pikiranku saat itu, "ternyata manusia semudah ini melupakan janjinya".
Sewaktu SMA sebenarnya aku sudah diperlihatkan dengan hal tidak baik mengenai berpasangan. Singkatnya itu membuatku jadi berasumsi bahwa memiliki pasangan akan mengubah diri kita mencapai titik tengahnya, entah itu baik atau buruk kita, semuanya akan berubah. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Nanti akan aku jelaskan lebih lanjut.
Di perkuliahan juga sama, bahkan aku sempat melihat temanku berselingkuh. Mirisnya, perselingkuhan itu bisa jadi timbul karena dia memproses traumanya dengan salah cara. Iya, dia termasuk korban dari perselingkuhan orang tua. Tapi menurutku itu bukan suatu alasan untuk dia melakukan hal yang sama, justru harusnya dia tidak melakukan itu. goblok! Eh, maaf, ini saking keselnya aku kalau mengingat kejadian ini. Ya tapi dari kejadian ini aku belajar bahwa aku harus menghindari orang-orang manipulatif. Aku harus jeli dan bisa membedakan mana orang-orang manipulatif yang akan aku blacklist dari daftar "orang sekitarku".
Setelah lulus kuliah, hasilnya aku benar-benar tidak ingin pernikahan dalam hidupku. Buat apa ada, jika janji itu tidak ada maknanya? Buat apa ada, jika aku harus berubah menjadi bukan Dinda? Lah terus yang dia cintai selama ini siapa kalau bukan Dinda? Wkwkwk, jangan-jangan itu Dinda yang dimaksud asumsinya saja. Terus buat apa ada pernikahan, kalau ujung-ujungnya malah menurunkan trauma itu dan menimbulkan trauma baru ke anak-anaknya. Hanya untuk mengikuti alur hidup orang lain kah? Atau apa sebenarnya?
Sewaktu pandemi, aku dihadapi dengan teman-temanku yang mulai berubah. Mereka sudah menjadi manusia dewasa seutuhnya mungkin. Hidup begitu datar, waktunya habis untuk hal-hal duniawi (seperti mencari uang dan kesenangan sesaat). Intinya sih waktu itu aku lumayan kehilangan teman-temanku yang waktunya tidak ada untuk teman-temannya. Hahaha, sepertinya aku agak kesal aja karena waktu itu temanku tidak ada ketika aku sedang terpuruk padahal aku pernah meluangkan waktuku untuk mereka. Aku juga merasa mereka sama sekali tidak asik. Tapi sekarang sudah tidak begitu (kapan-kapan bahas ini ya: tentang kita yang tidak boleh mengharapkan feedback apapun atas sesuatu baik yang pernah kita lakukan). Di sini aku sempat merasa kehilangan satu kaki. Ada 3 hal yang kemungkinan terjadi: pertama aku harus terbiasa dengan satu kaki, kedua aku harus mencari kaki prostetik, ketiga bisa jadi kakiku satu-satunya ini patah karena sengaja dipatahkan atau kupatahkan.
*Terbiasa dengan satu kaki berarti aku tidak menikah dan harus mandiri, mencari kaki prostetik berarti menikah atau membutuhkan pasangan hidup, ketiga aku harus mengorbankan diriku menjadi orang lain jika aku menemukan pasangan hidup yang salah atau malah dia yang sengaja mematahkan kakiku.
Dan aku memilih terbiasa dengan satu kaki, kalaupun ada kaki prostetik ya itu hanyalah bonus.
Tapi itu hanyalah kesimpulan sementara. Ternyata kakiku tidak patah, aku masih punya dua kaki yang aku pakai sampai sekarang. Memiliki pasangan mungkin bukan tujuan utama, tapi aku tau kalau aku butuh penyeimbangku. Bukan berarti dia kebalikan dari sifatku, tapi justru bisa menonjolkan sisi positifku lebih dari ini begitupun sebaliknya (dia yang bisa aku tonjolkan sisi positif dari dirinya agar tidak fokus pada sisi negatifnya).
***
Jujur saja, ketika sebelum menuliskan ini aku tidak suka konsep Islam tentang pernikahan yang katanya adalah penyempurna ibadah atau separuh agama. Tapi sepertinya aku paham bagaimana konsepnya. Sebelum menuliskan ini, aku berpendapat sesuai pemikiran beberapa orang yang katanya ibadah paling berat adalah ibadah menikah. Tapi masa menikah untuk sengsara? Wkwk, pemikiran macam apa itu. Tapi semalam temanku memberitahu, "emang beberapa orang merasa ibadah adalah hal yang memberatkannya. Contoh aja sholat, banyak kan orang yang berpikir gitu. Mungkin soal menikah, menurut beberapa orang juga begitu".
Gara-gara menuliskan ini aku jadi paham maksudnya. Ini aku coba maknai dari sudut pandang positif. Ini juga lumayan nyambung sih kenapa Nabi Muhammad ﷺ. Menurutku, ibadah itu bertujuan menjadikan manusia menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Makanya ada yang harus dilalui untuk menyempurnakan diri kita. Tapi gak melulu tentang cobaan atau ujian sih, semua tergantung setiap individu. Jika cara belajarnya harus dengan sengsara sih silahkan, tapi gak harus selalu sengsara. Bisa aja menikmati setiap prosesnya kan. Ya manusia itu memang cenderung mengingat dari satu sudut pandang sih. Tapi yaudahlah itu terserah mereka.
Sebenarnya tulisanku sudah selesai pukul 5 pagi tadi, tapi karena aku tadi keluar dan masih ada yang ingin aku tuliskan, ya sudah aku lanjutkan. Wkwk padahal sebenarnya gak penting sih, tapi biar inget aja sih.
-Din (Sleman, 14/01/2024. 11:53 WIB)
Paham banget aku sama pemikiranmuu, gk perlu di risaukan semua ada jalannya masing2 yang penting tetap positif thinking semangaat diiin
BalasHapusHehe, aman... Tapi hidup itu kita yg memilih sekalipun Tuhan sudah memberikan jalan. Tenang aja, ini proses berpikir yang memang harus aku lalui. Aku juga ingin sekalian menunjukkan, untuk mencapai positif thinking itu membutuhkan proses, apalagi setelah diperlihatkan sisi buruknya.
Hapus