Bisikan Pertiwi

21 Okt 2017
Surabaya, 15:04 WIB. 23/10/17
Bisikan Pertiwi

Alam berbisik lirih di telingaku. Andai kamu tahu, dia sedang bersedih dalam warna sendu. Dia sedang mengantar kepergian mentari. Tebing yang tadinya terlihat gagah pun ikut menunduk. Ini, saatnya dia mengadu pada ibu.

Ibu pertiwi meringkih kesakitan tapi dia tetap dalam ketenangannya. Ia tahu bukan hanya dia yang bersedih, tapi anaknya juga. Dengan cara lain. Tebing marah melihatku berada disini. Seperti ada dendam. Seperti aku telah membunuh sanak saudaranya. Laut meronta seperti bayi yang menginginkan ASI. Berharap manusia bisa seperti ibunya yang tahu dengan bahasa isyarat yang dia berikan. Aku hanya diam dan mencoba bersimpati pada mereka.

“Nak, kamu harus tahu, kami membenci manusia. Sebaik apapun mereka. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak. Ini takdirku dan anak-anakku. Aku hanya bisa diam dan bersedih. Si Laut selalu meronta dan Tebing selalu menjadi pemarah akhir-akhir ini. Semenjak kakaknya digunduli , dipenggal, dan dihabisi. Aku harap, kamu memahaminya,” bisik Ibu Pertiwi.

Aku pun menunduk malu. Salah besar ketika hal yang kukira baik malah menyakiti mereka. Air mata menetes seperti gerimis datang di langit yang sedikit berawan ini. Aku menangis.

Belajar memahami alam adalah belajar untuk tidak egois. Menyatu dengan alam. Mengkhayati setiap isyarat yang telah diberikan. Ibu pertiwi mengajarkanku tentang semesta. Memekakan telinga pada suara deru ombak, desiran angin, dan hantaman air terjun. Aku berharap, aku tidak membuat Ibu pertiwi bersedih lagi.

-Tamban, Pelangi

Komentar