Fatamorgana

Wedi Ireng

Jember, 20:51 WIB 14/08/17
Fatamorgana: Kisah Singkat


Gelap kembali datang. Tapi, kali ini bintang menemaniku. Tempat ini menjadi jauh lebih indah. Aku tidak lagi peduli walau dia tidak bersamaku. Tapi aku tetap tidak ingin berada disini. Aku ingin berjalan menuju arah cahaya dan angin. Timur. Tempat mentari memulai harinya. Awal mula angin dihembuskan. Dia hanya mengikuti kemana angin pergi. Ikut berhembus meninggalkan timur. Dan, kubiarkannya pergi.

Hari demi hari. Tempat ini ternyata tidak seindah imajinasiku. Aku mulai sadar. Bahwa dialah yang membuat tempat ini menjadi indah. Bukan bintang, bukan sinar mentari, dan bukan angin. Aku harap dia disini.

Sosok siluet datang dari arah timur. Dia tinggi. Rambut bergaya. Saat itu, aku pun menyimpulkan bahwa itu sosoknya. Tidak kusadari otot-otot pipiku menarik mulutku, aku tersenyum. Sebagai ucapan selamat datangnya, sebagai bahasa rinduku kepadanya.

Dia. Orang yang pernah mengenalkanku pada semuanya. Semua yang dia ketahui. Dia juga yang mengenalkanku pada seseorang. Seseorang yang mirip denganku, tapi kami tak sejenis. Orang itu lelaki. Saat itu, aku mulai akrab dengannya, orang yang pertama kali dia kenalkan kepadaku. Dan seketika, aku rasa jatuh cinta. Seolah jatuh cinta pada diriku yang lain. Kepada orang yang kutahu dialah sahabatnya.

Hari-hariku menjadi lebih menarik. Obrolan dengan orang itu membuatku merasa nyaman. Tapi kami tidak berdua. Tetap ada dia yang menemaniku. Mungkin karena dia sahabatnya atau karena dia harus tetap bersamaku. Tak masalah.

Suatu hari, muncul gerhana matahari yang pernah kuduga. Siang terik tiba-tiba menjadi gelap dalam beberapa detik. Itu pertama kalinya aku membenci dirinya. Seharusnya dia tidak disini.

Bodoh. Hati ini benar-benar bodoh. Respon dari kejadian itu seharusnya adalah benci yang cukup lama. Tapi hati ini malah membuatku merespon benci yang sebentar. Dan membiarkan respon cinta ada sampai saat ini.


Untuk kejadian yang seharusnya membuatku benci kepadamu

Komentar