Langit Malam

Wedew, aku gak tahu nulis apa ini. Aku cuma menorehkan aja apa yang ada dipikiranku nih. Tapi, entahlah kalau tulisan ini jadi sebuah cerita kelanjutan dari khayalanku sebelumnya. Ya udah, silahkan membaca... :D


Langit Malam
(Dinda Ayu Salsabila)

Langit sore mulai memudar hitam. Mentari tak lagi tampak di ufuk cakrawala. Aku dan langit. Kita tetap disini. Dalam kesunyian dan keheningan. Hanya sebuah alunan musik angin yang menemani kita. Awan yang sedari tadi berkejar-kejaran menjemput mentari, kini tak lagi. Mereka telah pergi bersama mentari.

Setelah langit menenangkan hatiku dengan beberapa nasihat, kini wajahnya terlihat sedikit lebih cerah. Sepertinya, ia tak lagi mau membiarkan awan menghalangi wajah tampannya. Ia tampak lebih berseri ketimbang tadi. Bulan yang ditemani bintang pun turut mengindahkan wajahnya itu. Aku rasa ia sedang tersenyum sekarang. Entah karena apa. Ia terlihat seperti telah mengeluarkan segala hal yang menyesakkan pikirannya dan hatinya, mungkin. Aku hanya merasa seperti itu. Padahal, ia tak pernah mengeluarkan pikirannya sekali pun padaku. Tapi, apa langit juga punya masalah sepertiku? Entahlah. Aku pun ikut tersenyum setelah melihatnya tersenyum. Setidaknya, saat ini aku puas walau hanya bersamanya. Tidak bersama sahabat-sahabatku ataupun Reno.

Aku dan langit hanya terdiam meski kita saling memandang. Bersama alunan musik dan lagu yang dinyanyikan dedaunan pohon. Hening dan berirama.

Waktu demi waktu terus bergulir. Aku dan langit masih terdiam dan saling memandang. Aku senang memandangi wajah berserinya itu. Tapi tiba-tiba ia memalingkan wajahnya dan mengubah wajahnya menjadi murung. Aku merasa bingung. Mengapa tiba-tiba langit terlihat murung? Padahal, bulan dan bintang masih menghiasi wajahnya. Tapi, aku merasa ia benar-benar murung saat ini. Entah karena apa ia jadi murung. Ia tak pernah sekalipun cerita tentang apa yang terjadi padanya dan apa yang terjadi pada kehidupannya. Tak pernah. Bukankah itu tak adil? Hanya aku yang cerita semua cerita tentang kehidupanku kepadanya. Sedangkan ia tak pernah. Tapi aku tak ingin memaksanya untuk bercerita. Kurasa, akan lebih baik jika aku biarkan dulu ia terdiam dan menikmati musik ini. Aku juga akan membiarkan pikiranku sedikit lebih jernih. Dan mengendapkan semua masalah di sini. Atau mungkin, akan kutinggalkan di sini.

Alunan musik yang dimainkan angin masih terdengar dan masih menghiasi pesta malam. Saat ini, aku dan langit masih terdiam dan merenung. Aku juga masih tetap menatap langit dengan maksud agar langit mau menceritakan semuanya padaku. Kulihat dan kupandangi wajah tampannya yang penuh cerita itu. Aku mencoba membaca cerita yang tertoreh pada wajahnya. Tapi sungguh, aku tetap tak bisa membacanya. Karena mungkin, aku dan langit hanya seperti bulan dan bintang. Ya, kurasa...

Seperti bulan dan bintang, aku dan langit juga sulit untuk bersama. Aku dan langit mengisi kehidupan kita dengan hal-hal yang berbeda. Seperti bulan dan bintang yang berdiri dengan cahayanya masing-masing. Walau bulan hanya bisa terlihat ceria ketika bintang memancarkan keceriaannya. Bulan terlihat seperti diriku, aku yang tak bisa ceria dan merasa tenang jika langit tak ada. Saat langit bersembunyi di balik awan. Apalagi, ketika semua masalah menghampiriku. Seperti bulan dan bintang yang selalu terlihat dekat, padahal mereka tak pernah sekali pun bersama. Aku dan langit pun juga begitu. Meski aku selalu merasa ia berada di dekatku, aku tak pernah sekali pun bisa menggapainya. Seperti bulan dan bintang yang hanya bisa saling menatap dari kejauhan. Aku hanya bisa melihat wajahnya dari sini dan ia pun juga. Apakah itu yang langit takutkan?

Aku tak pernah bisa membaca pikiran langit kapan pun. Apakah langit sedang sedih ataukah sedang senang? Aku hanya bisa mengira-ngiranya. Aku terlalu egois mungkin. Karena aku hanya memikirkan masalahku. Tanpa pernah memikirkan perasaan langit. Tapi sungguh, aku benar-benar tak tahu apa yang sedang langit pikirkan atau yang sedang langit rasakan. Terlalu hampa untuk aku pikirkan saat ini. Karena aku masih terpikirkan oleh semua masalah yang aku ceritakan tadi. Jujur, pikiranku masih belum sepenuhnya jernih. Mungkin langit sedang sepertiku saat ini. Pikirannya masih belum jernih. Apa karena semua hal yang aku ceritakan padanya? Sehingga membuatnya terdiam seperti sekarang? Ah, ayolah. Aku benar-benar tak tahu, langit.

Tadinya, aku kira malam ini akan terlihat lebih ceria ketimbang sore tadi. Karena tadinya langit tersenyum. Tapi tak tahu mengapa, saat ini ia terlihat jauh lebih menyedihkan. Karena langit terlihat murung dan ditambah lagi masalah lama yang aku ungkit kembali tadi, perasaanku benar-benar kacau sekarang. Meski pikiranku lebih jernih ketimbang tadi sore.

Langit benar-benar mendiamkanku malam ini. Aku terasa seperti bulan yang berusaha untuk ceria malam ini meski bintang mulai meredupkan sinarnya. Padahal, perasaanku dan perasaan bulan saat ini semu.

Komentar