Paradoks: Trauma

Ada hal yang cukup paradoks tentang manusia dan traumanya, yang lumayan membuat aku bingung. Jadi, apakah trauma itu harus disembuhkan?

Mungkin jawabannya sudah jelas, yaitu bukan soal sembuh tapi tentang bagaimana meminimalisir risikonya. Oke, jawaban itu adalah hal yang sangat bisa diterima otakku. Tapi bagaimana aku bisa menerima jawaban itu? Pada dasarnya trauma tidak sesimpel itu. Sesembuh apapun dirimu tentu akan membuat atau bahkan menciptakan trauma lainnya. Misal, dulu kita pernah di-bully di sekolah, trauma itu melekat pada kita sampai sekarang bahkan dengan tidak sadar. Di luar kesadaran kita, trauma itu jadi membentuk diri kita hari ini. Kita menjadi lebih protektif ke anak, memanjakan anak, tidak memberikan ruang privasi untuk anak, dan lain sebagainya. Mungkin baik bagi kita, tapi belum tentu bagi mereka.

Kenapa sih aku harus memberi contoh tentang anak dan orang tua? Ya karena menurutku sifat anak adalah salah satu produk trauma dari si orang tua. Ya, tapi aku bisa memberikan contoh lainnya, tentang teman dan ini tentang diriku sendiri. Jadi, aku punya trauma melihat teman-temanku tidak pernah mendapatkan pacar yang baik. Hasilnya apa? Aku jadi over protective, aku selalu memiliki penilaian tersendiri tentang pacar temanku. Okelah, kadang pacar temanku baik tapi kadang temanku sendiri itu yang menjadi pihak bodohnya. Pokoknya, bagiku tidak ada yang benar. Ternyata traumaku itu cukup membuat teman-temanku merasa tidak nyaman. Tapi seperti yang pernah aku bilang, aku ini memori rasa sakit. Sulit juga bagiku untuk tidak seperti itu. Ujung-ujungnya aku memilih untuk mencoba tidak peduli soal kisah asmara teman-temanku itu. Bukan tidak peduli, tapi itu caraku agar tetap waras.

Terlihat seperti salah cara menangani trauma, bukan?

Tapi cara yang baik pun sebenarnya belum tentu tidak menimbulkan trauma lagi. Bahkan bisa dipastikan juga tetap menimbulkan trauma lainnya. Contohnya apa ya, ada seorang Ibu yang selalu bijak dalam menasihati anak-anaknya karena dulu ketika kecil orang tuanya tidak pernah sebijak itu. Hasilnya si anak malah ketergantungan dan kesulitan dalam mengambil keputusan sendiri.

Ya okelah gak semuanya gitu. Ada kok yang bisa menanggapi hal baik itu dengan baik pula, tapi juga ada yang menanggapi hal buruk dengan hal baik. Lalu buat apa menyembuhkan trauma? Biar aja, toh ujung-ujungnya tergantung orangnya juga.

Begitulah paradoks yang aku maksud. Mungkin aku terlalu ngelantur dan kemana-mana. Tapi percayalah, menuliskan apa yang ada di otakku memang tidak selalusistematis dan cenderung absurd. Untuk mencapai kesistematisan itu aku harus nunggu puzzle utama. Kadang cepat (cuma beberapa hari), kadang juga lama (sampai bertahun-tahun). Tapi aku keburu lupa. Inilah fungsi blog: memori monolog dan dialog hal-hal random. Ah, sudahlah, aku terlalu meracau mungkin. Hehe.


-Din (Sleman, 08/02/2024. 09:22 WIB)

Komentar