Surabaya
![]() |
| 2016 |
SURABAYA
Surabaya memiliki langit yang berbeda dari kampungku, Jember. Merah. Seperti selalu merasa hari masih sore. Bahkan ketika malam tiba. Bintang-bintang juga sangat jarang terlihat di sini. Kadang, bulan datang dengan sedikit menghiasinya. Tapi, yang sangat terlihat adalah gemerlap-gemerlap gedung pencakar langitnya. Terlihat tak seburuk itu, tapi kadang juga terlihat sangat menakutkan ketika langit merah itu mendominasi.
Cuaca di Surabaya juga tidak menentu. Kadang tiga hari panas terik, eh besoknya hujan deras. Atau hampir setiap hari hujan melanda kota ini. Hawa sumuk di sini juga sudah menjadi ciri khas. Haha, jangan salah, setiap aku pulang kampung, aku selalu membawa oleh-oleh kulit gosong ke Jember.
Suasana di Surabaya memang tak sedamai kampungku atau tak seramah kota tercintaku yaitu Jogja. Tapi Surabaya memiliki suasana tersendiri. Ramai dan sibuk sebagai kota metropolitan. Memiliki semangat juang sebagai kota pahlawan. Kadang, keinginan hedonismenya sangat sulit untuk aku ikuti di kota ini. Tapi, keindahan kota-kota tua di Surabaya dan tanaman-tanaman yang selalu menghiasi sudut kota menjadi daya tarik tersendiri bagiku.
Tadinya aku tak pernah berpikiran akan merantau di kota ini, kota yang sering aku kunjungi saat masih kecil. Surabaya memang tak menyediakan pemandangan alam seperti di Malang, tak memiliki jiwa seni yang tinggi seperti di Jogja, tak sekreatif di Bandung, atau tak seetnik di Bali. Tapi Surabaya menjadi salah satu kota kecintaanku.
Aku melihat Surabaya seperti sosok yang selalu mengajarkanku untuk jujur dan kuat. Tempaan di kota ini bukan main memang. Tapi dia tak pernah mengajariku untuk curang. Kadang, berperilaku jujur yang sedikit menyakitkan seperti blak-blakan memang dibutuhkan. Dan di sini aku diajarkan. Selalu bertindak apa adanya tanpa ada topeng yang menghiasi tubuh. Surabaya memang terkesan kasar. Dari cara orang-orangnya berbicara, yah walaupun aku sendiri merasa tak jauh beda dengan kampungku. Tapi justru itu yang aku sukai. Surabaya memang kota metropolitan. Tapi dia tidak licik. Beda dengan saudara-saudaranya sesama kota metropolitan. Kebanyakan sih licik. Untuk beberapa orang yang menyukai hal yang menjaga perasaan daripada kejujuran, aku yakin dia tidak menyukai Surabaya, walau mungkin dia tidak benci.
Dulu, aku pikir Surabaya itu liar dan menakutkan. Tapi ternyata tidak. ada banyak hal yang sebenarnya belum aku ketahui. Mungkin, akan kucoba untuk mengenalnya lebih dalam. Seperti kata teman-temanku, “Berkenalanlah dulu.”
Surabaya memiliki langit yang berbeda dari kampungku, Jember. Merah. Seperti selalu merasa hari masih sore. Bahkan ketika malam tiba. Bintang-bintang juga sangat jarang terlihat di sini. Kadang, bulan datang dengan sedikit menghiasinya. Tapi, yang sangat terlihat adalah gemerlap-gemerlap gedung pencakar langitnya. Terlihat tak seburuk itu, tapi kadang juga terlihat sangat menakutkan ketika langit merah itu mendominasi.
Cuaca di Surabaya juga tidak menentu. Kadang tiga hari panas terik, eh besoknya hujan deras. Atau hampir setiap hari hujan melanda kota ini. Hawa sumuk di sini juga sudah menjadi ciri khas. Haha, jangan salah, setiap aku pulang kampung, aku selalu membawa oleh-oleh kulit gosong ke Jember.
Suasana di Surabaya memang tak sedamai kampungku atau tak seramah kota tercintaku yaitu Jogja. Tapi Surabaya memiliki suasana tersendiri. Ramai dan sibuk sebagai kota metropolitan. Memiliki semangat juang sebagai kota pahlawan. Kadang, keinginan hedonismenya sangat sulit untuk aku ikuti di kota ini. Tapi, keindahan kota-kota tua di Surabaya dan tanaman-tanaman yang selalu menghiasi sudut kota menjadi daya tarik tersendiri bagiku.
Tadinya aku tak pernah berpikiran akan merantau di kota ini, kota yang sering aku kunjungi saat masih kecil. Surabaya memang tak menyediakan pemandangan alam seperti di Malang, tak memiliki jiwa seni yang tinggi seperti di Jogja, tak sekreatif di Bandung, atau tak seetnik di Bali. Tapi Surabaya menjadi salah satu kota kecintaanku.
Aku melihat Surabaya seperti sosok yang selalu mengajarkanku untuk jujur dan kuat. Tempaan di kota ini bukan main memang. Tapi dia tak pernah mengajariku untuk curang. Kadang, berperilaku jujur yang sedikit menyakitkan seperti blak-blakan memang dibutuhkan. Dan di sini aku diajarkan. Selalu bertindak apa adanya tanpa ada topeng yang menghiasi tubuh. Surabaya memang terkesan kasar. Dari cara orang-orangnya berbicara, yah walaupun aku sendiri merasa tak jauh beda dengan kampungku. Tapi justru itu yang aku sukai. Surabaya memang kota metropolitan. Tapi dia tidak licik. Beda dengan saudara-saudaranya sesama kota metropolitan. Kebanyakan sih licik. Untuk beberapa orang yang menyukai hal yang menjaga perasaan daripada kejujuran, aku yakin dia tidak menyukai Surabaya, walau mungkin dia tidak benci.
Dulu, aku pikir Surabaya itu liar dan menakutkan. Tapi ternyata tidak. ada banyak hal yang sebenarnya belum aku ketahui. Mungkin, akan kucoba untuk mengenalnya lebih dalam. Seperti kata teman-temanku, “Berkenalanlah dulu.”

Komentar
Posting Komentar